Sabtu, 04 Juli 2009

RBT save the industry, not the music…


Ring Back Tone adalah istilah yang sudah sangat tidak asing bagi kita. Hampir setiap pengguna ponsel pasti mengetahui istilah ini. Ring back Tone atau yang sering disingkat RBT disebut sebagai penyelamat industri musik Indonesia. Seperti yang kita ketahui, penjualan musik secara fisik (baca CD atau kaset) saat ini sudah tidak bisa diandalkan lagi oleh label-label besar dalam menjual karya artis-artisnya. Penyebabnya diantaranya adalah pembajakan yang sudah tidak terkontrol, semakin populernya mp3 player sampai download musik secara illegal yang semakin menggila.

Kehadiran RBT bisa dikatakan sebagai nafas segar bagi para pelaku industri musik di Indonesia dalam mendapat keuntungan melalui artis-artisnya. Lalu dimana poin dari tulisan ini?? Apakah gw tidak setuju kalau RBT dikatakan sebagai penyelamat industri musik Indonesia?? Sejujurnya, gw sangat setuju kalau RBT dikatakan sbagai penyelamat Industri musik, tapi hanya sebatas “industri”, bukan “musik” itu sendiri.

Membingungkan? Begini…kita sudah sama-sama tahu bukan kalau RBT bisa dikatakan hanyalah musik pengiring pada saat kita akan menelfon, (nada sambung atau apalah itu namanya) dan seperti yang kita ketahui, (here’s the point) durasi RBT rata-rata hanyalah 30 detik dari tiap lagu yang dijadikan RBT oleh pengguna ponsel tersebut. Lalu apa yang kita dapatkan dari 30 detik lagu itu sendiri, apakah kita benar-benar menikmati musik dengan hanya mendengarkan potongan lagu dengan kualitas suara yang apa adanya (baca RBT) itu. Memang bagi sebagian orang, alasan mereka memasang RBT sebagai nada sambung ponsel mereka adalah, mungkin pada saat itu lagu tersebut sedang sesuai dengan suasana hatinya, disamakan dengan karakteristik si pengguna ponsel atau memang sedang menyukai lagu tersebut. Lalu, dimana mereka benar-benar mendengarkan “keutuhan” suatu lagu tersebut??(here’s another point) Pada akhirnya kita akan kembali sibuk mendownload secara illegal untuk menikmati lagu-lagu favorit kita secara keseluruhan.

Apakah ini berakhir sampai disitu? belum…

Dalam wawancaranya dengan sebuah majalah rock n roll terbesar di Indonesia (bahkan dunia) seorang musisi jenius Indonesia (I don’t wanna mention a name) pernah berkata “Penjualan fisik itu sudah mati, Kalau yang aktivasi RBT itu kelas C dan D, ya gue akan membuat musik seperti kelas C dan D….”. (Here’s the real point) Pada akhirnya “Sang pembuat musik” itu sendiri harus menyerah dengan keadaan dan sibuk memanjakan pengguna RBT dengan tidak membuat musik yang berkualitas lagi. Meskipun pendapat ini bukan berarti bisa disimpulkan sebagai pendapat umum semua musisi Indonesia. But in the end, akan muncul band-band baru dengan satu hits single yang mudah dicerna yang “dijual secara” Ring back tone. Mungkin bagi band-band besar seperti GIGI, Padi, Dewa 19, dll, mereka masih mempertahankan kualitas musik mereka. Karena mereka pernah membuat album-album “fisik” hebat berkualitas yang bisa terjual jutaan kopi pada jaman sebelum RBT mengambil alih industri. Namun bagaimana dengan band-band yang baru muncul yang dipaksa oleh label untuk membuat lagu dengan mengikuti keinginan pasar saat ini yang lebih loyal dalam mengaktivasi RBT dibanding membeli album fisik secara legal. Pada akhirnya mereka akan membuat lagu yang mudah dicerna, “terlalu” easy listening dan mudah dilupakan (kalau tidak bisa dibilang tidak berkualitas). Karena tujuan utama label mengorbitkan artis-artis barunya tidak lain adalah untuk mendapatkan aktivasi RBT sebanyak-banyaknya.

Dan kesimpulan gw adalah, Ring back Tone memang benar bila dikatakan sebagai penyelamat industri musik Indonesia saat ini, Thank’s to it… Tapi menurut gw, RBT tidak menempatkan musik ditempat yang seharusnya. Musik seharusnya berada di tempat yang jauh lebih tinggi dan terhormat daripada sekedar menjadi nada sambung pribadi. Lalu bagaimana solusi terbaik untuk kembali menempatkan musik menjadi sesuatu yang berharga? Umm..well, I don’t really know…hehe… Gw membuat tulisan ini bukan untuk memberi jalan keluar, karena gw merasa belum cukup berpendidikan mengenai musik. Gw merasa perlu membuat tulisan ini karena gw hanya seseorang yang merasa hidupnya diselamatkan oleh musik.


Music is more healing and unite than any religion...–Iris-